LAPORAN
KUNJUNGAN DI SITUS PENINGGALAN MAJAPAHIT DI TROWULAN ( PENDOPO AGUNG ) KELAS XI
IPA 1 KELOMPOK 3
Disusun
Oleh:
Ketua
Kelompok : NUR IHSAN MUHARRAM (19)
Nama Anggota Kelompok :
1. ADHIT
MAULANA RAMADHAN (01)
2. ANGGUN
SETYONINGRUM (03)
3. ATIQUL
BARIROH (06)
4. AZIZAH
RENI ISMAWATI (07)
5. FIRDA
RAZZAQ (11)
6. LUTFIYATUN
(16)
7. NURLAELA
ARDANI (20)
MADRASAH
ALIYAH NEGERI PURWOREJO
TAHUN
AJARAN 2014 - 2015
HALAMAN PENGESAHAN
Karya
Tulis Ini Telah Disetujui Oleh Guru Pembimbing dan Disahkan Oleh Kepala Sekolah
Pada
Tanggal, 2015
Pembimbing
………………….
Mengesahkan
……………………
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas taufik dan
hidayah-Nya, kami bisa menyusun karya tulis ini dengan baik.Sebagai tanda bukti
bahwa kami telah mengunjungi obyek-obyek penelitian.
Karya tulis ini telah kami lengkapi
dengan gambar-gambar dan informasi dari obyek-obyek penelitian yang telah kami
kunjungi.
Upaya penyusunan acara ini tidak lepas dari
bantuan dan arahan dari berbagai pihak, maka kami mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Yang terhormat Bapak selaku kepala sekolah MAN
Purworejo
2.
Yang terhormat Ibu Ipung
Kadarwati selaku wali kelas XI IPA 1 dan pembimbing kami
3. Yang tercinta rekan-rekan kelas X yang turut berpartisipasi dalam kunjungan
ini
Karya tulis yang kami susun ini jauh dari kesempurnaan. Kami memohon maaf
jika ada kesalahan dalam penyusunan karya tulis ini. Untuk itu kami mohon
kritik dan saran demi kesempurnaan karya tulis ini.
Semoga karya tulis
sederhana ini, dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Purworejo, 2015
Penyusun
Daftar Isi
Lembar pengesahan
|
ii
|
Kata
pengantar
|
iii
|
Daftar isi
|
iv
|
Bab I Pendahuluan
|
1
|
A.
Latar belakang
|
1
|
B. Permasalahan
|
1
|
C. Rumusan masalah
|
1
|
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
|
1
|
Bab II Situs Kerajaan Majapahit Secara Umum
|
2
|
A. Pendopo Agung
|
2
|
B.
Kolam Segaran
C. Candi Tikus dan Bajang Ratu
|
3
4
|
Bab III Pendopo Agung
|
8
|
A. Letak Geografis Pendopo Agung
B. Bentuk Gedung, Kelengkapan dan
Fasilitas
C. Fungsi Pendopo Agung dahulu dan
kini
|
8
8
|
BAB IV
Kesimpulan
Saran
Daftar
pustaka
|
9
9
9
10
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelaksanaan kunjungan study wisata merupakan kegiatan wajib sekolah. Kunjungan ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali.
Kunjungan ini diikuti oleh kelas XI karena pada agenda
sekolah kunjungan study
wisata dilaksanakan pada kelas XI.
Dipilihnya objek Situs
Peninggalan Majapahit karena untuk mengetahui lebih jelas gambaran tentang benda-benda dan artefak-artefak peninggalan Kerajaan Majapahit
yang dulunya pernah menjadi salah satu kerajaan yang paling berjaya di Pulau
Jawa. Di sana kita semua dapat mengetahui secara jelas bagaimana system pemerintahan Kerajaan Majapahit yang sangat baik
sehingga dapat menjadi kerajaan yang besar dan hebat, di sana kita disuguhkan berbagai bukti sejarah. Mulai dari tugu atau prasasti-prasasti,
patung-patung, relief-relief dan sebagainya. Dipilihnya objek wisata Musium Trowulan karena di sana kita dapat melihat bermacam-macam
benda-benda bersejarah peninggalan Kerajaan Majapahit yang masih ada dan
terjaga dengan baik disana.
B.
Permasalahan
1.
Letak geografis Pendopo Agung
2.
Bentuk gedung, kelengkapan, dan fasilitas dari Pendopo Agung
3.
Fungsi Pendopo Agung dahulu dan sekarang
C.
Rumusan Masalah
1.
Dimana letak geografis Pendopo Agung?
2.
Bagaimana bentuk gedung, kelengkapan, dan fasilitas dari
Pendopo Agung?
3.
Apa fungsi Pendopo Agung dahulu dan sekarang?
D.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.
Untuk mengetahui sejarah Pendopo Agung di Musium Trowulan.
2.
Untuk mengetahui letak geoafis dari Pendopo Agung.
3.
Untuk mengetahui fungsi dari Pendopo Agung.
4.
Untuk mengetahui situs-situs bersejarah peninggalan Kerajaan
Majapahit di Musium Trowulan.
BAB II
SITUS KERAJAAN MAJAPAHIT SECARA UMUM
A. Pendopo Agung
Pendopo Agung
adalah merupakan bangunan baru yang didirikan oleh Kodam VIII Brawijaya pada
tahun 1966 yang kemudian disempurnakan pada tahun 1973. Bangunan pendopo ini
berbentuk bangunan rumah joglo sebagai ciri khas rumah Jawa berdiri di atas
umpak-umpak yang besar. Di dalam pendopo Agung ini dapat kita saksikan
photo-photo Panglima—Panglima yang memegang Kodam VIII Brawijaya. Pendirian
Pendopo Agung oleh Kodam VIII Brawijaya ini kemungkinan tidak berbeda tujuannya
bila dibandingkan dengan Kodam VII Diponegoro mendirikan Monumen Diponegoro.
Dengan adanya Pendopo Agung ini kita dapat membayangkan bagaimanakah bentuk dan
keindahan Pendopo Agung kerajaan Majapahit yang besar dan disegani oleh negara
negara luar.
Di tempat
didirikan Pendopo Agung ini dahulu terdapat sederetan umpak dari batu yang
besar-besar dan berbentuk segi delapan hanya di bagian atasnya tidak berlubang
seperti umpak yang kita dapatkan di Sumur Upas. Sehingga dapat kita tafsirkan
bahwa, umpak-umpak ini belum pernah terpakai. Di dekat deretan umpak ini
terdapat 2 buah tiang batu, satu diantaranya masih terpancang di tanah. Menurut
pendapat orang tiang batu tersebut untuk mengikatkan gajah milik raja-raja
Majapahit. Menurut tulisan para peninjau—peninjau tempat ini disebut sebagai
kandang gajah.
Dibelakang
pendopo kita masih dapat menjumpai sebuah kompleks makam yang di bagian
tengahnya, ada sebuah makam tertutup cungkup dan letaknya agak tinggi. Makam
inilah yang semenjak jaman Raffles dikenal dengan nama Kubur Panggung.
Penggalian
purbakala yang pernah diadakan ditempat ini. menghasilkan ditemukminya fondasi
tembok membujur dari utara-Selatan dan Barat-Timur sehingga membagi tempat itu
menjadi ruang-ruang yang disekat-sekat.
Letak Kubur
Panggung adalah diatas persilangan salah satu fondasi tembok itu, inilah
sebabnya letak makam ini lebih tinggi dari pada yang lain. Dongeng rakyat mengenai
tempat ini ada 2 versi.
Yang pertama
adalah, yang dicatat oleh Knebel th 1907 sebagai berikut:
Ketika Majapahit
diperintah oleh Kencanawungu dibuatlah sebuah pesanggrahan untuk para tamu
dongan memakai panggung.
Pada suatu saat
putera, Sultan Pajang yang bernama Pangeran Benawo, lolos dari Pajang, dan
melarikan diri ke Majapahit. Selama di Majapahit ia berdiam di pesanggrahan
ini. Setelah tinggal beberapa waktu lamanya Pangeran Benowo kemudiah pergi dan
di tempat itu ia membuat petilasan yang diberi nama Kubur Panggung.
Ceritera kedua,
menyebutkan bahwa ketika pusat kekuasaan politik sudah beralih ke Demak, daerah
ibukota Majapahit hanya diperintahkan oleh seorang Adipati. Tersebutlah, ketika
saat Demak akan melantik Adipati Pajang, Sang Adipati Majapahit tidak mau hadir
dalam pelantikan itu.
Peristiwa ini
jelas merupakan pembangkangan sehingga Demak mengirimkan balatentaranya untuk
menghukum. Ketika balatentara itu tiba di selatan Kubur Panggung, mereka semua
tiba-tiba sakit dan menangis tersedu-sedu sebagai akibat kesaktian Adipati
Majapahit.
Di dalam bahasa
Jawa “menangis tersedu-sedu” adalah “gereng-gereng“, sehingga tempat
tersebut hingga kini disebut Puntuk Gereng (bukit menangis).
Sang Adipati
Majapahit segera datang ke tempat kejadian itu. Karena ia merasa bersalah, maka
ia, bersedia untuk dihukum, akan tetapi hukuman itu hendaknya datang
dari Tuhan dan bukan dari orang lain. Pada saat ia selesai mengucapkan
kata-katanya itu, seketika itu juga ia hilang dan tak diketahui kemana
perginya.
Balatentara
Demak yang segera pula jadi sembuh dari sakitnya, menyaksikan kejadian ajaib
tersebut. Sehingga ditempat itu lalu dibuatkan sebuah makam petilasan yang
kemudian dikenal sebagai Kubur Panggung.
Baik dari
hasil-hasil penggalian Purbakala yang pernah dilakukan maupun dari kedua
dongeng rakyat tadi jelas bahwa Kubur Panggung itu sebenarnya bukanlah makam
melainkan hanya sebuah petilasan belaka.
B. Kolam Segaran
Kolam Segaran
terletak di Dukuh Trowulan, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto. Dari perempatan jalan raya Mojokerto-Jombang terdapat jalan simpang
ke arah selatan. Letak kolam di sisi kiri jalan simpang tersebut, sekitar 500
meter dari jalan raya.
Kolam Segaran ditemukan pada tahun
1926, dalam keadaan teruruk tanah. Pada tahun 1966 kolam ini mengalami
pemugaran sekedarnya. Baru pada tahun 1974 dimulai pelaksanaan pemugaran yang
lebih terencana dan menyeluruh, yang memakan waktu sepuluh tahun. Fungsi Kolam
Segaran belum diketahui secara pasti, tetapi menurut masyarakat di sekitarnya,
kolam tersebut digunakan keluarga Kerajaan Majapahit untuk berekreasi dan
menjamu tamu dari luar negeri. Kolam ini merupakan satu-satunya bangunan kolam
kuno terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia. Kolam yang luas
keseluruhannya kurang lebih 6,5 hektar, membujur ke arah utara-selatan
sepanjang 375 m dengan lebar 175 m. Sekeliling tepi kolam dilapisi dinding setebal
1,60 m dengan kedalaman 2,88 m.
Di pintu masuk
yang terletak di sebelah barat, terdapat emperan yang menjorok ke tengah kolam.
Di sisi dalam emperan terdapat undakan untuk turun ke kolam. Seluruh dinding
dan emperan terbuat dari susunan batu bata tanpa bahan perekat. Konon untuk
merekatkannya, batu bata yang berdampingan digosokkan satu sama lain.
Di sisi tenggara terdapat saluran yang
merupakan jalan masuk air ke dalam kolam, sedangkan di sisi barat laut terdapat
saluran jalan keluar air. Air yang keluar mengalir ke Balongdawa (empang
panjang) yang letaknya di barat laut dan Balongbunder (empang bundar) di
selatan. Menilik adanya saluran masuk dan keluar air, diduga Kolam Segaran
dahulunya juga berfungsi sebagai waduk dan penampung air. Para ahli memperkirakan
bahwa kolam ini
adalah yang
disebut sebagai telaga dalam Kitab Negarakertagama.
C. Candi Tikus
Candi Tikus adalah sebuah peninggalan purbakala yang terletak
di dukuh Dinuk, Desa Temon,
Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Candi ini terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara
kota Mojokerto. Dari jalan raya Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan,
membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan Candi Bajangratu yang
terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan,
sekitar 600 m dari Candi Bajangratu.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada
tahun 1914. Penggalian situs dilakukan
berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi
di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun
1984 sampai dengan 1985. Nama ‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang digunakan
masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada
merupakan sarang tikus.
Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas
tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi
dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad ke-13
sampai ke-14 M, karena miniatur menara
merupakan ciri arsitektur pada masa itu.
Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan di kalangan pakar sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja, namun sebagian pakar ada yang berpendapat bahwa bangunan tersebut merupakan tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan penduduk Trowulan. Namun, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan dugaan bahwa bangunan candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah petirtaan atau
pemandian, yaitu sebuah kolam dengan beberapa bangunan di dalamnya. Hampir
seluruh bangunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m ini
terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah letaknya yang lebih rendah
sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan paling atas
terdapat selasar selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi
dalam, turun sekitar 1 m, terdapat selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi
kolam. Pintu masuk ke candi terdapat di sisi utara, berupa tangga selebar 3,5 m
menuju ke dasar kolam.
Di kiri dan kanan kaki tangga terdapat kolam berbentuk persegi empat yang
berukuran 3,5 m x 2 m dengan kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar masing-masing
kolam berjajar tiga buah pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari batu andesit.
Tepat menghadap ke anak tangga, agak masuk ke sisi selatan, terdapat sebuah
bangunan persegi empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di atas bangunan ini
terdapat sebuah ‘menara’ setinggi sekitar 2 m dengan atap berbentuk meru dengan
puncak datar. Menara yang terletak di tengah bangunan ini dikelilingi oleh 8
menara sejenis yang berukuran lebih kecil. Di sekeliling dinding kaki bangunan
berjajar 17 pancuran (jaladwara) berbentuk
bunga teratai dan makara.
Hal lain yang menarik ialah adanya dua jenis batu bata dengan ukuran yang
berbeda yang digunakan dalam pembangunan candi ini. Kaki candi terdiri atas
susunan bata merah berukuran besar yang ditutup dengan susunan bata merah yang
berukuran lebih kecil. Selain kaki bangunan, pancuran air yang terdapat di
candi inipun ada dua jenis, yang terbuat dari bata dan yang terbuat dari batu
andesit.
Perbedaan bahan bangunan yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan bahwa
Candi Tikus dibangun melalui tahap. Dalam pembangunan kaki candi tahap pertama digunakan
batu bata merah berukuran besar, sedangkan dalam tahap kedua digunakan bata
merah berukuran lebih kecil. Dengan kata lain, bata merah yang berukuran lebih
besar usianya lebih tua dibandingkan dengan usia yang lebih kecil. Pancuran air
yang terbuat dari bata merah diperkirakan dibuat dalam tahap pertama, karena
bentuknya yang masih kaku. Pancuran dari batu andesit yang lebih halus
pahatannya diperkirakan dibuat dalam tahap kedua. Walaupun demikian, tidak
diketahui secara pasti kapan kedua tahap pembangunan tersebut dilaksanakan.
Candi Bajang Ratu
Gapura Bajang Ratu atau juga dikenal dengan nama Candi Bajang
Ratu adalah sebuah gapura / candi peninggalan Majapahityang berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia.
Bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah satu gapura besar pada zaman
keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian
Peninggalan PurbakalaMojokerto, candi / gapura ini berfungsi
sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam Negarakertagama disebut "kembali ke duniaWisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M). Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi ini
dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya relief "Sri Tanjung" dan
sayap gapura yang melambangkan penglepasan dan sampai sekarang di daerah
Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan jika melayat orang meninggal diharuskan
lewat pintu belakang.[butuh rujukan]
"Bajang Ratu" dalam bahasa Jawa berarti "raja / bangsawan yang kecil / kerdil / cacat". Dari arti nama tersebut, gapura ini dikaitkan
penduduk setempat dengan Raja Jayanegara (raja kedua Majapahit) dan tulisan
dalam Serat Pararaton, ditambahlegenda masyarakat. Disebutkan bahwa ketika dinobatkan
menjadi raja, usia Jayanegara masih sangat muda ("bujang" / "bajang") sehingga diduga
gapura ini kemudian diberi sebutan "Ratu Bajang / Bajang Ratu"
(berarti "Raja Cilik"). Jika berdasarkan legenda setempat, dipercaya bahwa ketika kecil Raja
Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya,
sehingga diberi nama "Bajang Ratu" ("Raja Cacat").
Sejarawan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di
Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Kakawin Negarakretagama: "Sira ta dhinarumeng Kapopongan, bhiseka
ring crnggapura pratista ring antawulan", sebagai pedharmaan (tempat
suci). Di situ disebutkan bahwa setelah meninggal pada tahun 1250 Saka
(sekitar 1328 M), tempat tersebut dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat. Jayanegara didharmakan di Kapopongan serta dikukuhkan di Antawulan (Trowulan). Reruntuhan bekas candi tempat Jayanegara didharmakan tidak ditemukan, yang
tersisa tinggal gapura paduraksa ini dan pondasi bekas pagar. Penyebutan
"Bajang Ratu" muncul pertama kali dalam Oundheitkundig Verslag (OV) tahun 1915.
Menurut buku Drs I.G. Bagus L Arnawa, dilihat dari bentuknya gapura
atau candi ini merupakan bangunan pintu gerbang tipe "paduraksa" (gapura beratap). Secara fisik keseluruhan candi
ini terbuat dari batu bata merah, kecuali lantai tangga serta ambang pintu bawah dan atas
yang dibuat dari batu andesit. Berdiri di ketinggian 41,49 m dpl, dengan orientasi
mengarah timur laut-tenggara. Denah candi berbetuk segiempat, berukuran ± 11,5
(panjang) x 10,5 meter (lebar), tinggi 16,5 meter, lorong pintu masuk lebar ± 1,4
meter.
Secara vertikal bangunan
ini mempunyai 3 bagian: kaki, tubuh, dan atap. Mempunyai semacam sayap dan pagar tembok di kedua sisi.
Kaki gapura sepanjang 2,48 meter. Struktur kaki tersebut terdiri dari bingkai
bawah, badan kaki dan bingkai atas. Bingkai-bingkai ini hanya terdiri dari
susunan sejumlah pelipit rata dan berbingkai bentuk genta. Pada sudut-sudut
kaki terdapat hiasan sederhana, kecuali pada sudut kiri depan dihias relief
menggambarkan cerita "Sri Tanjung". Di
bagian tubuh di atas ambang pintu ada relief hiasan "kala" dengan relief hiasan sulur suluran, dan bagian
atapnya terdapat relief hiasan rumit, berupa kepala "kala" diapit singa, relief matahari, naga berkaki, kepalagaruda, dan relief bermata satu atau monocle cyclops. Fungsi relief tersebut dalam
kepercayaan budaya Majapahit adalah sebagai pelindung dan penolak mara bahaya.
Pada sayap kanan ada relief cerita Ramayana dan pahatan binatang bertelinga panjang.
Lokasi Candi Bajang Ratu berletak relatif jauh (2 km) dari dari pusat kanal perairan Majapahit di sebelah timur, saat ini berada di Dusun Kraton, Desa Temon, berjarak
cukup dekat (0,7 km) dengan Candi Tikus. Alasan pemilihan lokasi ini oleh arsitek kerajaan Majapahit, mungkin untuk memperoleh
ketenangan dan kedekatan dengan alam namun masih terkontrol, yakni dengan bukti
adanya kanal melintang di sebelah depan candi berjarak kurang lebih 200 meter
yang langsung menuju bagian tengah sistem kanal Majapahit, menunjukkan hubungan
erat dengan daerah pusat kota Majapahit.
Untuk mencapai lokasi Gapura Bajang Ratu, pengunjung harus mengendara
sejauh 200 meter dari jalan raya Mojokerto - Jombang, kemudian sampai di perempatan Dukuh Ngliguk, berbelok ke
arak timur sejauh 3 km, di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Di sekitar lokasi Gapura Bajang Ratu di
Trowulan (bekas ibukota kerajaan Majapahit) tersimpan banyak peninggalan
bersejarah lainnya dari zaman keeemasan saat kerajaan Majapahit adalah salah
satu kerajaan yang disegani di muka bumi.
Pendirian Candi Bajangratu sendiri tidak diketahui dengan pasti, namun
berdasarkan relief yang terdapat di bangunan tersebut, diperkirakan candi ini
dibangun pada abad ke-13 – 14. Candi ini selesai dipugar dan diresmikan pada
tahun 1992 oleh Dirjen KebudayanDepartemen pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Pengaruh kebudayaan besar Majapahit masih terasa dalam kepercayaan masyarakat
Trowulan. Menurut kepercayaan lokal, adalah suatupamali bagi
seorang pejabat pemerintahan untuk
melintasi atau memasuki pintu gerbang Candi Bajang Ratu, karena dipercayai hal
tersebut bisa mendatangkan nasib buruk.
BAB III
PENDOPO
AGUNG
A. Letak Geografis Pendopo Agung
Pendopo Agung Trowulan terletak di Dusun Nglinguk, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, Jawa
Timur. Untuk mencapai lokasi wisata ini tidak sulit karena petunjuknya
banyak sekali. Kalau Anda berangkat dari arah Surabaya, maka kalau Anda sudah
sampai di perempatan Trowulan belok kiri. Sebaliknya, kalau Anda berangkat dari
arah Nganjuk dan Jombang, maka kalau sudah sampai perempatan Trowulan belok
kanan.
Dari perempatan Trowulan butuh waktu sekitar
10 menit untuk sampai Pendopo Agung. Tapi sebelum mencapai Pendopo Agung, Anda
akan melewati Kolam Segaran dan Museum Trowulan atau Pusat Informasi Majapahit
(PIM). Pendopo Agung ada di sebelah kanan jalan.
B. Bentuk gedung, kelengkapan, dan
fasilitas Pendopo Agung
Bangunan
Pendopo Agung berbentuk seperti bangunan-bangunan pendopo di jawa lainnya yang
bergaya joglo. Bangunan ini sebenarnya hanya berupa umpak-umpak besar yang
merupakan sisa dari bangunan pendapa agung yang dijadikan tempat untuk menemui
para taum oleh raja Majapahit. Bangunan ini sekarang berubah menjadi pendapa
yang nyaman di kunjungi. Pemugaran ini dilakukan oleh pihak Kodam V Brawijaya.
Sebuah batu miring ditemukan dibelakang pandapa. Batu ini diyakini sebagai
tempat patih Gajah Mada mengikrarkan sumpahnya, yaitu sumpah palapa. Selain
batu miring, Kompleks makam dari pendiri kerajaan majapahit Raden wijaya yang
ada ditempat ini juga banyak mendapat kunjungan dari masyarakat.
Fasilitas
yang tersedia menjadi tempat melepas lelah setelah berkunjung ke situs-situs di
kawasan Trowulan. Pada setiap tanggal 1 Suro lokasi cukup lengkap, termasuk
diantaranya kios souvenir, warung, tempat informasi, wartel dan toilet. Pendopo
Agung acapkali ini menjadi pusat penyelenggaraan prosesi Grebeg Suro yang
rangkaian kegiatannya meliputi kirap pusaka, pentas seni rakyat dan pagelaran
wayang kulit semalam suntuk.
C. Fungsi Pendopo Agung dahulu dan sekarang
Dahulunya
Pendopo Agung digunakan sebagai tempat Majapatih Gajahmada mengucapkan sumpah
palapa. Namun sekarang telah beralih fungsinya sebagai tempat pariwisata
sejarah, makam dan tempat penelitian peninggalan-peninggalan dari Kerajaan
Majapahit.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulannya adalah Kerajaan Majapahit
dulunya adalah salah satu Kerajaan terbesar yang ada di Indonesia. Itu
dibuktikan dari situs-situs peninggalannya yang masih ada hingga saat ini.
Situs-situs bersejarah itu banyak terdapat di daerah Jawa Timur karena Kerajaan
Majapahit dulu berada di Jawa Timur.
B.
Saran
Semoga laporan kunjungan ini dapat
bermanfaat bagi semua yang membacanya. dan semoga semua yang membaca ini bisa
berkunjung ke situs-situs Kerajaan Majapahit dan mempelajarinya.
Jangan pernah melupakan sejarah karena
sejarah adalah sumber ilmu yang sangat berharga.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment